Showing posts with label esai. Show all posts
Showing posts with label esai. Show all posts
11/29/2008
Tentang Sebuah Bendera
Mick Jagger, dengan tubuh banjir keringat, mengenakan kaus bendera Inggris ketika tampil di Panggung. Lain waktu, ada juga orang bule di negeri sana, mengenakan bendera yang dijadikan celana kolor. Pernah juga, semacam kain penutup payudara dengan motif bendera dikenakan dengan rileksnya. Apakah arti sebuah bendera buat mereka?
Di sini, bendera dikeramatkan, disucikan sebagai lambang negara. Boro-boro dijadikan kaus singlet, dituliskan sesuatu di atasnya adalah dosa. Grup musik Dewa 18 dalam salah satu video klpi-nya, menuai protes karena bendera sang saka merah putih tidak cuma berwarna merah dan putih, tapi ada motif lain di atasnya, simbol grup musik. Apakah arti bendera buat Ahmad dani dan kelompoknya?
Tiba-tiba saja, Roy Suryo, meradang demi mengetahui bendera merah dan putih itu tidak lagi orisinil. Tak kurang pihak istana pun protes keras kepada Ahmad Dani. Untungnya, Dani cepat merespon dengan melepas bagian adegan bendera merah putih tersebut.
Merah dan Putih itu memang dikeramatkan. 63 tahun silam, di depan sebuah hotel bernama Yamato, bendera itu dikibarkan di antara desing peluru musuh bangsa ini. Bahkan Bung Karno demi menyelamatkan bendera pusaka yang pertama kali dijahit Ibu Fatmawati harus memisahkan dua warna itu demi keselamatan bendera itu sendiri. Perjuangan untuk Merah dan Putih itu luar biasa dahsyat. Air dan darah membasahinya. Dia tidak cuma sekadar dua warna.
baca selanjutnya......
7/21/2008
Hujan di Suatu Senja di Jakarta
Peristiwa nyata ini terjadi dua bulan silam. Sempat menjadi renungan saya sebelum hari ini saya tuliskan di sini. Mungkin anda juga bisa menjadikannya bahan renungan atau hanya cerita omong kosong. Ceritanya dimulai pada suatu senja ketika rinai hujan mengguyur bumi Jakarta. Saya baru keluar dari sebuah gerai Pizza Hut. Tentu saja kebasahan. Seharusnya saya naik angkutan umum saja untuk menghemat tapi karena bungkusan pizza hut yang besar agak merepotkan. Jadi, saya putuskan untuk menumpang taksi.
Setelah memberi tahu tujuan perjalanan saya, sopir taksi yang berusia sekitar 50 tahun-an itu menancap gas di antara jalanan yang licin. Iseng-iseng saya ajak dia ngobrol, tentang apa saja. Bapak itu, saya lupa namanya, ternyata punya analisa sendiri tentang berbagai hal yang tengah berlangsung di Jakarta dan Indonesia. Hingga akhirnya, saya sedikit membongkar tentang jati diri dan keluarganya.
"Anak saya bekerja di sebuah perusahaan bus,"katanya kepada saya.
"Bagian apa,"tanya saya.
"Kasir gitu deh."
"Wah, asyik itu. Banyak duit dong."
Bapak itu merenung sejenak. Tarikan nafasnya terasa berat. Dia ceritakan jika anaknya sering mendapat tawaran uang amplop dari sopir bus yang sering terlambat membawa pulang bus ke pool. Itu semacam kolusi, biar aman.
"Kalau anak saya mau terima uang-uang itu, kami harusnya banyak uang,"kata Bapak itu kemudian.
Sampai di sini saya yang jadi merenung. Ada suara getir di ucapan Bapak tersebut.
" Harusnya Bapak bangga punya anak jujur seperti itu,"kata saya kemudian.
Tapi Bapak itu ternyata tidak bangga. Sama sekali tidak.
"Sekarang ia memilih untuk berhenti dari pekerjaannya,"katanya lagi.
Saya tercekat.
"Kerja apa dia sekarang?"
"Kuli bangunan."
"Pilihan anak Bapak bagus. Meski kerjanya kasar dibanding sebelumnya, tapi itu jujur."
Bapak itu menarik rokoknya dalam-dalam.
"Tapi, penghasilannya jauh lebih kecil. Keluarga jadi agak susah sekarang."
Sampai di sini saya tak sanggup lagi bicara. Pandangan saya tembus keluar kaca jendela taksi. Memandang bagian Jakarta yang telah melahirkan orang-orang seperti Bapak sopir taksi yang tidak bangga dengan anaknya yang jujur.
Dan hujan pun belum mau berhenti.
baca selanjutnya......
7/09/2008
Ketika Musim Partai Tiba
Lebih kurang 34 partai diumumkan oleh sebuah lembaga di negeri ini yang berhak ikut pemilihan umum 2009. Jumlah yang luar biasa. Apa artinya buat saya? Nothing! Apa artinya buat negeri ini? Juga nothing. Partai yang banyak tidak cukup mewakili kecerdasan berpikir dan bersikap anak negeri ini dalam berpolitik. Saya sendiri sampai hari ini bodoh urusan politik.
Padahal cukup banyak juga literatur, debat, film politik yang sudah saya telan bertahun-tahun. Politik, kata orang bijak, mudah dipelajari lewat perilaku politikus yang berkuasa di sebuah negeri ini. Apa yang mereka ajarkan buat kita semua? Tak lebih dari kemenangan hanya untuk personal, kelompok, partai dan kekuasaan itu sendiri. Seharusnya, kemenangan milik bersama. Tapi, kenapa ada yang menang dan kalah? Pesta politik dalam sebuah PEMILU menggunakan uang negara yang tidak sedikit. Partai-partai yang bejibun itu pun harus dibiayai oleh negara. Apa yang mereka cari?
Mari kita tanyakan pada tabung gas ukuran 3 kg.
baca selanjutnya......
6/19/2008
MALING
Beberapa kali saya mampir ke blog-blog lain yang menuliskan sulitnya mendapat inspirasi untuk kenulis dalam blog. Kebalikannya, saya malah kewalahan. Di dalam kepala saya terjadi konflik antara ide satu dengan yang lain. Ide-ide itu berebut ingin cepat dikeluarkan dari kepala untuk dituangkan ke dalam halaman blog.
Sekali ini, saya coba menuliskan tentang sesuatu yang aneh, setidaknya menurut saya. Ini tentang pilihan-pilihan hidup. Kenapa seseorang harus menjadi maling untuk demi sesuatu yang sepele? Meminta saja, kalau memang bisa, begitu kata orang-orang bijak. Tapi, setelah dipikir-pikir maling bukan cuma sekadar perbuatan, tapi itu adalah mungkin candu. Ada karakter maling pada orang-orang tertentu yang membuat hidupnyal ebih bergairah. Dengan mengendap-endap di saat orang lain berpaling, ia menikmati situasi yang sebetulnya menegangkan semacam itu. Lolos dari pengawasan orang lain bisa jadi obat bius yang mengasyikkan. Itu bisa jadi seperti mengibarkan bendera kemenangan.
Meminta dari pada maling, ternyata, dianggap sebagai bentuk kekalahan. Misalnya saja, saya minta jambu tetangga, itu mungkin jadi adalah bentuk penyepelean diri sendiri. Sama dengan mengakui si pemilik jambu sebagai juara, pihak yang berkuasa dan saya harus memohon, merendahkan diri kepadanya.
Analisa saya mungkin tidak sepenuhnya benar. Masa sih maling itu nikmat? Kabarnya maling bisa tertular. Lingkungan maling cenderung akan melahirkan maling-maling baru. Karena maling sama seperti iblis yang abadi sampai tiba waktunya ia dipunahkan oleh waktu.
Alasan sepele atau besar tidak menjadi soal. Itu hanya akan menjadi label sebagai maling kecil atau maling besar. Dosanya, apakah kecil atau besar, juga tak lagi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Tapi maling, bukan sarana untuk menunjukkan bendera kemenangan, melainkan stempel diri sebagai seorang pecundang belaka.
Maaf, untuk komentar-komentar, para maling pun dipersilakan memberi komentar. Suka atau tidak, terserah saja.
baca selanjutnya......
6/11/2008
Luka Redup
Malam Tadi, saya mencoba mendegar lagu kesaksian Kantata Takwa. Lagu melodius dengan lirik dalam ini coba kita pasangkan pada music backgroud pada beberap aperistiwa yang melukai batin ibu pertiwi. Bulu kuduk kita niscaya akan meremang seiring hela nafas yang semakin berat demi melihat atmosfer terkini negeri ini. Orang-orang mencaci demi ketidakpuasan. Orang-orang meludah di atas dendam kekecewaan. Para politikus memperdaya rakyatnya dengan kepala menjulang langit. Sementara rakyat semakin terpuruk, terbius dalam ketidakberdayaan. Hidup bersama tak lagi terjaga. Api kemarahan begitu enteng tersulut. Kepalan tinju begitu mudah terkepal untuk kebenaran yang belum tentu benar.
Orang-orang harus dibangunkan! Mari kembali mencari lagi nafkah yang hilang itu. Sesungguhnya anak bangsa ini adalah petani yang kuat, pelaut ulung, pendaki yang gesit, penari yang gemulai, pengukir yang tekun, pemanah yang jitu, peternak yang sabar. Syair-syair spiritual yang berabad-abad tertulis di dalam hati kita harus terus dikumandangkan. Waktu, sinar matahari dan kerjasa keras akan menyembuhkan luka-luka. Cahaya rembulan dan kelembutan akan menjadi titik cahaya penerang di lorong-lorong kegelapan.
baca selanjutnya......
6/03/2008
!
Teman saya begitu murkanya mendengar seorang motivator melempar berkarung-karung uang kertas dari atas pesawat ke tengah lapangan. Menurutnya, itu sebuah bentuk kesombongan, pamer di tengah rakyat yang bersusah-payah mengantri BLT. Saya mendengarnya sambil mencoba memahami teman saya itu dan juga pikiran Tung Desem Waringin.
Memahami dua kepribadian yang berbeda bukan main sulitnya. Tung Desem menebar uang bukan ingin bersikap sosial, seperti katanya di hadapan para wartawan. Ia hanya ingin berkreatifitas dalam menjual buku terbarunya. Ia menolak untuk promosi secara tradisional, lewat iklan di koran, misalnya. Tapi, teman saya, itu hanya sensasi murahan, arogan dan perlu diselidiki motivasinya.
Sampai di sini saya ketawa lebar mendengarnya. Kenapa sih kita selalu curiga dengan orang yang berkreasi, selama itu tidak melanggarkan hukum? Kalau saya, sangat mendukung TDW. Bila perlu ada satu juta orang seperti TDW. Bila perlu tidak cuma hanya seratus juta yang diumbar.
Lantas, teman saya memang sudah terlanjur sebal. Apalagi kemudian ada berita tentang hujan bogem mentah antara dua kelompok di lapangan monas. Baku pukul itu begitu seru, mendebarkan, lengkap dengan atribut keagamaan. Mereka sedang tidak berebut pecahan uang kertas, tetapi soal kebenaran yang dibidik dari kacamata agama.
Demikianlah pembaca, kejadian seru dalam seminggu ini. Ada juga seseorang yang mengaku punya uang sebanyak 20 kali APBN. Juga tentang blue energy yang misterius itu.
Lebih baik saya ada di pinggiran, menulis, berimajinasi, atau melap keringat.
baca selanjutnya......
5/15/2008
?%#$%$@$)(^^!!+\][=-
BBM. BTL. Kemiskinan. Pengangguran. Demonstrasi. Debat politik. Pilkada. Istilah-istilah itu terus bermunculan di berbagai harian, blog, website, jurnal, diktat, running teks tv, naskah, dan seterusnya. Entah apa jadinya negara ini? Entah bagaimana nasib berpihak? Entah bagaimana lagi menikmati baris-baris puisi jika tetangga, teman sebelah, musuh di seberang, selingkuhan, istri, keponakan, anak, pakde, dan seterusnya, tak lagi mampu mendudukkan pantatnya dengan tenang di kursi yang empuk. Kenapa kegelisahan ini terus bertahta di dalam jiwa? Rendra, Iwan Fals, AA Gym, SBY, JK, Amien Rais tolong berikan kami sebaris kalimat sakti yang mampu menidurkan kami dalam ketenangan, ketentraman dengan perut dan kepala yang terisi penuh. Mungkin dulu saya akan bertemankan sebotol bir, Red Label, Black Label, Anggur Orangtua, dan seterusnya untuk sekadar membius saya dari kekacauan dunia di sekitar. Tapi kini, semua itu telah berlalu. Jauh dari keluarga, orangtua, sahabat, kekasih, kami mencari tangan Tuhan agar terus mengalirkan kasih sayang.
Tangan-tangan mungil lusuh anak-anak Myanmar, Cina terus bersimpuh, juga seperti di sini, agar tetap kuat menahan getar kelaparan untuk terus rapat berdoa, memohon aliran kasih sayang Tuhan. Tuhan, usai sudah para rasul, nabi, wali, Syuhada, Kau kirimkan kepada kami. Sudah juga Kau torehkan ayat terakhir pada lembaran terakhir Alquran, Injil, Taurat, Zabur, tapi tetap juga kami masih tak yakin bahwa hidup bukan sekadar hanya menyembah pada-Mu. Tapi hidup juga adalah berbagi, menularkan kasih, bekerja, tersenyum kepada musuh dan mengebiri nafsu-nafsu kemurkaan.
baca selanjutnya......
5/09/2008
Stop Nonton Iklan Politik di TV
Sejak reformasi berkibar di negeri ini, kebebasan merangsek ke berbagai lini, termasuk tv. Di tv kita akrab dengan wajah-wajah selebritas, semacam Tukul, Eko, artis-artis kawin cerai, politikus ketangkap basah dengan segepok uang dan seterusnya. Juga ada pria-pria yang entah asli banci atau kebanci-bancian, ibu dan anak gadisnya yang kenes demi mendapat gelar dari kontes-kontes nyanyi. Belakangan ini, calon-calon pemimpin di Jakarta dan daerah pun ikut nampang di tv. Mereka pasang iklan untuk mengejar popularitas, menggaet simpati dari calon pemilih. Berapa biaya untuk itu?
Pastinya, iklan di tv tidak murah. Merogok kocek dari kantong pribadi atau lembaga atau partai adalah sesuatu yang harus dilakukan. Sekarang, saat ini juga, saya teriak:"STOP!". Maaf, teriakan itu mungkin tidak saya tujukan buat para politikus yang beriklan-ria. Toh mereka tak akan peduli dengan saya. Tapi teriakan itu saya tujukan buat para pemirsa. Ganti saja channel tv, beralih ke hal-hal yang merangsang, seperti kisah-kisah sukses orang kecil yang berkeringat mendaki kejayaan. Di tv pernah saya lihat seorang ibu dengan enteng menyebutkan kewalahan melayani order hasil kerajinan tangannya. Ini lebih asyik daripada slogan-slogan gombal.
Di tengah suhu kecemasan akibat melambungnya harga BBM, rakyat tak perlu, saya pikir, untuk menonton kampanye-kampanye para politikus di TV. Milyaran dana kampanye di tv itu coba alirkan ke rakyat yang sudah terhimpit. Uang itu akan menjadi sebuah harapan, mimpi untuk mereka menjadi tangguh menghadapi hidup.
Jika simpati yang diharapkan dari masyarakat, perbuatan adalah bentuk iklan yang paling efektif. Mungkin, kita bukan Amerika, yang taraf hidup rakyatnya sudah mendingan. Obama dan Hillary pantas mengucurkan dana besar-besaran untuk kampante multimedia mereka. Tapi, di sini, di negeri yang rakyatnya tengah dibelit kemiskinan,
perilaku, sikap dan kepekaan calon pemimpin menjadi cahaya pesona buat para konstiuen-nya.
baca selanjutnya......
4/01/2008
Goyang Dewi Persik
Dewi Persik jadi gunjingan di beberapa tempat di dalam televisi tanah air. Bukan membahas ukuran payudaranya yang melimpah, tentu saja, tapi bagaimana dia mengemas benda tersebut. Maklumlah, sepasang payudara itu kerap kali memang tidak sepenuhnya terbungkus dengan benar. Sebagian penonton menikmati, sebagian lagi merasa gerah. Saya sendiri tidak tahu di bagian mana saya berada. Menikmatinya justru membuat saya risih sendiri, mengingat konsentrasi saya terpecah antara menikmati suara atau bagian dada, atau pahanya yang sengaja agak terbuka.
Sebenarnya suara sang janda biduanita ini unik. Saya tidak sebut merdu atau bagus dan saya memang tidak peduli. Unik lebih bermakna berbeda dengan penyanyi dangdut lain, Iis Dahlia misalnya. Tapi goyangannya jadi tidak relevan dengan suara unik tersebut. Taruh kata ia mengenakan pakaian sedikit lebih tertutup, suara unik itu tetap tidak berubah dan cukup mampu menghibur saya kan? Mungkin seorang Dewi Persik butuh suntikan nyali lebih besar tentang kepercayaan diri. Dada dan paha yang tersingkap bukan alat untuk menggapai tangga kesuksesan, meski pun pada beberapa kasus hal itu bisa jadi benar. Gerakan sensual bisa jadi menggairahkan meski terbalut busana ketat, seksi dan mengundang birahi. Mungkin ada biduanita yang cocok saya contohkan di sini, siapa ya? Sebentar, biarkan saya berpikir keras, karena saya tidak terlalu paham musik dangdut. Mungkin Uut Permatasari. Mungkin Ikke Nurjanah. Buat saya, mereka keindahan yang menggairahkan tanpa murahan.
baca selanjutnya......
3/06/2008
Lapar di Lumbung Padi
Angka-angka di koran itu menyebutkan bilangan tentang bayi yang menderita lapar, gizi buruk atau busung lapar. Pada sebuah negeri yang padi menjadi permadani di antara kaki pegunungan, lembah dan belantara hijau. Tiga ribu lebih bayi-bayi itu bisu menahan lapar yang sengit di Cianjur. Apa yang terjadi di negeri itu? Sementara di negeri yang lain, di waktu yang sama, seorang jaksa menerima bilangan angka menakjubkan dari seseorang yang bersembunyi di balik layar. Enam milyar dalam recehan dolar, sebuah angka yang fantastis di antara hiruk pikuk harga-harga yang melejit naik. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Saya teringat Cianjur, beras dan seorang sahabat di sana. Sebuah negeri yang tenang bersama angin yang menerpa pucuk-pucuk padi menguning. Belum lupa betapa saya beagitu girangnya ketika bertelanjang kaki berjalan di pematang sawah sekadar untuk melepas rindu pada padi-padi, pepohonan dan sunga-sungainya. Tapi, bayi-bayi tergolek lemah itu
menggugat kesetiaan kita. Mereka lapar, kekurangan gizi, di dalam lumbung padi. Sementara di nun jauh di tempat yang lain, aku hanya menyaksikan uang-uang dibagikan pada mereka yang tidak berhak.
baca selanjutnya......
2/16/2008
1945, 1966, 1998… [Goenawan Moehamad]
Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Soekarno, dan yang ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak lagi hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke sebuah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu, datang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”.
Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk mengawetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu meledak. Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, menggetarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.
1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”, misalnya, adalah penanda waktu ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sama sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebihkan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara yang muncul sebagai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat kerdil. Di antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan menguat. Tak semua hal merupakan ”awal”, dan mungkin tak ada awal yang ”sama sekali baru”.
Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung kekecewaan, diikuti disilusi.
Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang Indonesia membentuk sebuah republik yang merdeka begitu meluap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan republik mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan sakit dan kematian, juga dengan sikap tulus dan keberanian. Namun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang sakti itu jadi boyak.
Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi. Farid, seorang remaja Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya karena keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang komandan gerilya yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahankan Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan Bekasi, dan bertempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dalam persenjataan.
Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri, adalah rekaman ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu dahsyat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya pula, ”lebih berhasil dalam seluruh sejarah Indonesia daripada seluruh Revolusi bersenjata yang pernah dilakukannya”.
Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap. Hanya beberapa tahun setelah pertempuran Farid di sepanjang Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang menanggungkan ”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk judul. ”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah metafor untuk masa tahun 1950-an yang dirundung frustrasi. Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri, kesetiaan kepada ”1945” tak ada lagi.
Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasiswa yang menumbangkan ”demokrasi terpimpin” yang represif sejak 1958-1965—para pemuda yang bersedia menanggungkan kekerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demokratis—berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim yang menggantikan ”demokrasi terpimpin” ternyata sebuah ”demokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa
Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut mencoba membuka zaman baru di bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak dengan brutal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa setelah Soeharto pergi: bukankah ”royan revolusi” dirasakan lagi dan orang juga mengeluh?
Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau antara pengharapan dan kekecewaan telah jadi sebuah pola yang berulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat apa arti ”1945”, ”1966”, atau ”1998”.
Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara kita bertahan dari serbuan gelap dan campur-aduk yang membingungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama itu ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?
Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang spekulatif”), karena ingin memurnikan waktu, menertibkan ruang. Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan, selamanya dilingkungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”kebenaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Jejak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.
Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi dengan narasi yang lain dari yang dibawakan Walter Benjamin. Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara ia terbang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang diruntuhkannya—reruntuhn yang terus meninggi dan mendesakkan diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati kejadian demi kejadian.
Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau 1966, atau 1998. Mungkin tidak; hanya warna polos yang bergerak.
~Majalah Tempo Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008~
baca selanjutnya......
Catatan Sang Koruptor
Kalau saya diberi kesempatan untuk korupsi, maka akan saya lakukan. Itu demi sanak keluarga yang memang sangat membutuhkan dana dalam jumlah banyak. Kami butuh mobil bermerk, baju bermerk, rumah mentereng, mungkin beberapa vila di atas pegunungan untuk memompakan udara segar ke dalam paru-paru kami yang telah lama sumpek oleh udara kota yang kotor. Jadi, maklumilah kami.
Kami juga mohon maklum untuk tidak peduli kepada lingkungan yang gelisah oleh melonjaknya harga BBM, melesatnya harga tempe atau para pengangguran yang cuma bisa bernyanyi di tepi jalanan. Kami tidak seperti anda, yang tidak butuh uang dalam jumlah banyak dan dalam tempo yang singkat.
Okelah, kami memang bejat, bangsat dan tumpahkan saja caci maki anda ke sini. Tapi kami memang butuh uang dalam jumlah melimpah demi meraih surga yang ada di muka bumi ini. Terali besi penjara tidak menggetarkan kami,percayalah. Kami lebih takut kepada kemiskinan, kemelaratan atau disepelekan oleh orang kaya lain. Itu saja. Jadi, biarkanlah kami korupsi demi sanak keluarga kami yang tercinta.
baca selanjutnya......
1/30/2008
Berbeda Itu Asyik (gus dur)
Suatu hari Gus Dur ngobrol dengan ayahnya. "Dur," kata Pak Wahid suatu hari. "Sekalipun agamamu dan agama temanmu berlainan, kamu jangan suka membeda-bedakan orang. Begitu juga dengan orang yang berlainan suku atau bangsa."
"Berbeda itu asyik dong, Pak?" tanya Dur menyelidik.
"Ya, makanya kamu boleh bermain dengan siapa saja."
"Asalkan kamu tetap pandai menjaga diri," sela ibunya mengingatkan.
Ketika dewasa, nasehat orangtuanya itu semakin tertanam dalam diri Gus Dur. Dia menjadi pembela kebebasan beragama dan mendorong gerakan antikekerasan.
baca selanjutnya......
"Berbeda itu asyik dong, Pak?" tanya Dur menyelidik.
"Ya, makanya kamu boleh bermain dengan siapa saja."
"Asalkan kamu tetap pandai menjaga diri," sela ibunya mengingatkan.
Ketika dewasa, nasehat orangtuanya itu semakin tertanam dalam diri Gus Dur. Dia menjadi pembela kebebasan beragama dan mendorong gerakan antikekerasan.
baca selanjutnya......
1/23/2008
Belalang
Tempe, Tahu, Terigu sudah lebih dulu membumbung naik. Menyusul sekarang harga sembako. Lantas makan apa? Ibu-ibu di daerah Pacitan, Jawa Timur, menjadi kreatif menutupi kantong belanja yang jebol. Mereka sepakat untuk memasak udang menjadi lauk-pauk. Entah bagaimana rasanya belalang itu? Saya pernah memakannya ketika masih jadi bocah angon, main di sawah, dan membakar beberapa ekor belalang. Enak, tapi itu sekadar iseng.
Belalang di saat sulit seperti ini menjadi sesuatu yang penting. Sebab tidak berharga, mudah didapat dan soal rasa, tergantung selera masing-masing. Semoga hal seperti ini tidak menular ke wilayah. Wahai, para penguasa negeri, bagaimana nasib kami? Kami butuh beras,tempe dan tahu yang murah. Kami tidak merengek minta uang sidang pembahasan RUU atau minta penambahan gaji seperti saudara kami di KPU. Kami adalah kamu sederhana. Tidur di atas kertas koran pun, mimpi kami tidak kalah dengan mereka yang tidur beralas
beluduru.
Sudah sekian Presiden terlewati. Tapi kami masih tetap orang yang sama, bermimpi uang Pak Harto diselipkan di bawah pintu rumah-rumah kami, ketika malam-malam sepi yang seperti tak berujung.
baca selanjutnya......
Subscribe to:
Posts (Atom)