Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Soekarno, dan yang ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak lagi hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke sebuah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu, datang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”.
Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk mengawetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu meledak. Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, menggetarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.
1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”, misalnya, adalah penanda waktu ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sama sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebihkan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara yang muncul sebagai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat kerdil. Di antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan menguat. Tak semua hal merupakan ”awal”, dan mungkin tak ada awal yang ”sama sekali baru”.
Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung kekecewaan, diikuti disilusi.
Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang Indonesia membentuk sebuah republik yang merdeka begitu meluap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan republik mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan sakit dan kematian, juga dengan sikap tulus dan keberanian. Namun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang sakti itu jadi boyak.
Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi. Farid, seorang remaja Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya karena keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang komandan gerilya yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahankan Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan Bekasi, dan bertempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dalam persenjataan.
Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri, adalah rekaman ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu dahsyat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya pula, ”lebih berhasil dalam seluruh sejarah Indonesia daripada seluruh Revolusi bersenjata yang pernah dilakukannya”.
Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap. Hanya beberapa tahun setelah pertempuran Farid di sepanjang Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang menanggungkan ”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk judul. ”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah metafor untuk masa tahun 1950-an yang dirundung frustrasi. Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri, kesetiaan kepada ”1945” tak ada lagi.
Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasiswa yang menumbangkan ”demokrasi terpimpin” yang represif sejak 1958-1965—para pemuda yang bersedia menanggungkan kekerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demokratis—berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim yang menggantikan ”demokrasi terpimpin” ternyata sebuah ”demokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa
Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut mencoba membuka zaman baru di bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak dengan brutal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa setelah Soeharto pergi: bukankah ”royan revolusi” dirasakan lagi dan orang juga mengeluh?
Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau antara pengharapan dan kekecewaan telah jadi sebuah pola yang berulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat apa arti ”1945”, ”1966”, atau ”1998”.
Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara kita bertahan dari serbuan gelap dan campur-aduk yang membingungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama itu ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?
Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang spekulatif”), karena ingin memurnikan waktu, menertibkan ruang. Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan, selamanya dilingkungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”kebenaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Jejak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.
Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi dengan narasi yang lain dari yang dibawakan Walter Benjamin. Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara ia terbang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang diruntuhkannya—reruntuhn yang terus meninggi dan mendesakkan diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati kejadian demi kejadian.
Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau 1966, atau 1998. Mungkin tidak; hanya warna polos yang bergerak.
~Majalah Tempo Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008~
2/16/2008
1945, 1966, 1998… [Goenawan Moehamad]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
Setuju, Bos! Kelihatanya ada " kebenaran baru" setelah tragedi 1945,1966, 1998, but masih ada jejak masa silam. yang bisa jadi "kebenaran baru''bakal terlindas kembali. Boleh dong apatis, he...he...
Post a Comment