12/22/2007

Pernikahan Jingga (Oleh: Hamzah Puadi Ilya)


Jingga, Engkau tak pernah bisa bicara. Mereka tahu itu. Orang tua kita, kakek dan nenek kita, serta orang-orang sekampung. Tapi mereka tahu engkau memiliki mata, dagu, bibir, dan hidung yang benar-benar indah. Semua kecantikan diberikan padamu, tapi tidak dengan suara.Jingga. Tidakkah kita pernah berbicara saat berada di perut ibu? Aku katakan bahwa aku akan terus menjagamu, karena aku yang diberikan suara sedangkan engkau tidak.
“Bagaimana aku akan berbicara pada manusia?” Tanyamu.

“Engkau tidak usah bicara.” Kataku. “Karena hidup akan lebih sulit dengan banyak bicara.”
“Lalu bagaimana kamu akan menjagaku?” Tanyamu lagi.
“Aku akan berbicara melalui hatimu, Jingga. Aku akan membimbingmu. Aku lebih tahu apa yang akan terjadi karena aku akan berada di luar alammu.”
Lalu setelah pembicaraan itu aku dikubur dibelakang rumah kita dengan nisan sebatang pohon jarak. Pohon itu kini telah besar, mengikuti tubuhmu yang semakin ranum. Sebenarnya itu membuatku iri. Tapi tidak aku katakan padamu.
Jingga. Aku tahu penderitaanmu sebelumnya. Kau sering diejek, kau pernah dimaki, dan kau tidak bisa bersekolah di tempat anak-anak lain sekolah. Tapi tidakkah engkau merasa senang berada di tempat itu? Aku yakin kau senang sekali, karena engkau bertemu dengan Gerhana. Ya, Gerhana. Apakah kau tahu bahwa ia benar-benar dilahirkan saat gerhana? Saat itu gerhana bulan, dan ayahnya langsung memberi nama Gerhana.


Di sekolah itu kalian belajar berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang kalian telah pelajari. Pada awalnya cuma pertemanan biasa. Tapi semakin hari, kalian semakin dekat. Lalu pada suatu ketika Gerhana berkata kepadamu bahwa ia mencintaimu. Ia ingin engkau menjadi istrinya. Dan itu membuat hatimu berbunga-bunga. Juga hatiku.
Aku tahu, setelah itu engkau tidak bisa tidur. Kau tak suka makan. Engkau sering melamun dan tersenyum sendirian. Ayah dan ibu menjadi bingung. Mereka sering menanyakan apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tapi engkau malu berterus-terang.
Yang ada di pikiranmu hanya Gerhana. Ia ada dimana saja, terutama di langit-langit kamar tidurmu. Engkau suka melihat wajahnya yang tersenyum manis sampai engkau pulas. Lalu engkau akan bermimpi tentang dia.
Kalian lalu menjadi kekasih. Kalian saling menyayangi walau tak pernah ada kata yang terucap. Orang-orang yang menyebut diri mereka normal pasti menertawai kalian. Tapi sebenarnya kalian berbicara dengan hati. Sedangkan gerakan tangan kalian hanya sebagai perantara saja.
Tapi sayang, setahun kemudian Gerhana pergi meninggalkanmu. Tahukah kamu kenapa ia meninggal? Itu adalah ulah Durjana. Rentenir beristri sembilan itu menyuruh orang-orang untuk membantai keluarga Gerhana. Aku tahu itu. Tapi orang-orang tidak tahu. Mereka hanya mengira keluarga Gerhana telah dirampok, lalu para perampok membakar rumahnya. Begitu juga para polisi. Alangkah tololnya mereka. Mereka tak serius mengungkap kasus ini karena tangan mereka telah menggenggam uang pemberian Durjana.
Lalu engkau tak pernah lagi keluar rumah. Engkau mengurung diri. Badanmu menjadi kurus. Aku sudah berusaha untuk menghiburmu, tapi sepertinya engkau telah mengabaikan keberadaanku. Engkau telah lupa tentang pembicaraan kita dulu saat di perut ibu. Aku pun ikut sedih. Aku tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu.
Aku sedih melihat engkau seperti orang gila. Aku sedih melihat engkau mencabuti rambutmu. Aku sedih melihat engkau berlari ke jalanan dan meneriakkan nama Gerhana. Aku sedih karena orang-orang tak mengerti kata-katamu. Melihat itu, harusnya aku yang mendapat kecantikan dan engkau mendapat suara. Sehingga orang-orang tahu apa yang sebenarnya engkau keluhkan.
Lalu ayah memasungmu. Seharusnya ia tidak melakukan itu. Ayah tidak tahu apa yang ada dalam benakmu. Tidak seperti aku. Aku tahu segalanya. Sedangkan ibu, ia hanya bisa menangis dan berdoa setiap malam demi kesembuhanmu. Matanya sembab karenamu.
Mereka membawamu kemana saja. Terakhir engkau dibawa ke dokter jiwa. Lalu kau berada di kerangkeng tembok selama tiga bulan. Bodohnya ayah, ia meminjam uang kepada Durjana untuk biaya pengobatanmu. Aku telah memperingatkan ayah tentang bahaya yang akan muncul lewat bisikan kalbu. Tapi ia tak mungkin bisa mendengarkanku. Tahukah kau? Aku menangis, aku menjerit. Aku bisa melihat apa yang akan terjadi padamu.
Jingga. Aku bahagia engkau akhirnya sembuh. Kecantikan yang diberikan kepadamu kembali lagi. Kau juga kembali ranum seperti mangga yang mulai menguning.Aku lebih suka memberi perumpamaan bagai bunga yang mulai mekar, karena wanginya menyebar kemana-mana. Dan itu mengundang kumbang untuk datang.
Ya Tuhan. Harummu tercium Durjana. Ia jatuh cinta setengah mati kepadamu. Ia datang menemui ayah dan mengatakan akan menikahimu dan menjadikanmu istri ke sepuluh. Ia tak peduli, walau ayah mengatakan bahwa engkau tak bisa bicara. Ia telah gelap mata. Kecantikanmu menutupi kecacatanmu.
Ayah dan ibu tak bisa lagi menolak. Mereka berhutang uang pada Durjana. Engkaulah yang harus membayar hutang itu. Aku tahu, saat ayah dan ibu memberitahukan hal itu kepadamu engkau kembali menangis. Menangis seperti dulu, ketika kau tahu Gerhana telah pergi meninggalkanmu untuk selamanya.
Tapi engkau tak bisa berbuat apa-apa. Juga aku.

***
Aku mengerti, engkau pasti sedih walau ada panggung besar di depan rumah kita. Lihatlah penyanyi-penyanyi dangdut yang berpakaian ketat dan menor itu. Mereka tak mengerti perasaanmu. Yang mereka tahu, mereka telah dibayar oleh si Durjana tua bangka, licik, dan kejam itu untuk menghibur siapa saja. Khususnya kamu, Jingga. Tapi kamu sama sekali tidak terhibur.
Janur-janur sepanjang jalan telah dipasang hingga mencapai kecamatan. Aku tahu, Durjana ingin membuktikan keperkasaannya meskipun ia sudah tua. Aku juga tahu ia sering memakai obat kuat untuk meningkatkan kejantanannya. Cih, aku jijik melihatnya. Ingin sekali aku memuntahi wajahnya yang keriput.
Aku heran, kenapa ia tidak mempersiapkan kubur saja untuk masa depannya kelak, menghentikan kejahatannya, dan bertobat. Tapi itu tak mungkin dilakukan oleh Durjana, karena ia adalah iblis berwujud manusia, kekasih wewegombel, juragan teluh, dan sobat para dedemit.
Jingga. Pesta itu adalah pesta paling meriah sejagat kabupaten. Para dedengkot rentenir dan penjudi datang mengunjungimu. Mereka semua memuji kecantikanmu, bahkan saat mereka tahu bahwa engkau bisu. Tapi yang lebih dari itu adalah kekaguman mereka terhadap Durjana. Meskipun sudah tua, tapi tetap bisa menggaet daun muda nan jelita.
Aku tahu engkau cemberut. Tapi itu tidak memudarkan kecantikanmu. Engkau telah menjelma menjadi ratu. Ayah dan ibu juga tampak bahagia. Apalagi si iblis Durjana. Tapi aku yakin sebentar lagi ia akan sangat kecewa. Biar ia tahu bagaimana rasanya.

***

Jingga. Dengarlah suaraku…aku disini. Akulah saudara kembarmu yang dulu diberikan suara oleh Tuhan tapi bukan kecantikan dan umur panjang. Bukankah aku berjanji akan membisikkan hatimu. Sekarang dengarkanlah aku, Jingga. Jangan engkau abaikan aku seperti dulu.
“Dimana engkau?” Tanya batinmu.
“Aku di sini.” Jawabku. “Di dalam hatimu.”
“Aku ingin segera pergi.”
“Aku tahu. Aku akan membimbingmu.”
Jingga. Pertunjukkan telah usai. Tengah malam telah lewat tiga jam. Tamu-tamu telah pulang. Para pedagang telah berkemas. Pergilah engkau ke kamar sekarang juga.
“Bagaimana jika Durjana mengikutiku?”
“Bilanglah padanya hanya sebentar, karena engkau perlu membersihkan badanmu dan mengganti pakaian.”
“Ia tidak akan mengerti bahasaku.”
“Kau bisa minta tolong ayah bila perlu.”
“Baiklah.”
Bagus Jingga. Kuncilah pintu kamar. Berjalanlah ke arah jendela dan bukalah daun jendela itu. Lihatlah ke langit. Ada bulan, Jingga. Dan rasakan sinarnya menyentuh tubuhmu.
“Hangat sekali.” Kata batinmu.
Tunggulah beberapa saat. Kosongkan hatimu. Lihatlah! Perhatikanlah sinarnya yang lambat laun pudar.
“Apa yang terjadi?” Engkau bertanya dan bingung.
“Tunggulah sebentar.” Aku berbisik padamu.
Gerhana!...itu Gerhana.
Engkau berteriak. Wajahmu bersinar. Aku turut bahagia, Jingga. Cepatlah engkau pergi melalui jendela itu. Susullah Gerhanamu yang sedang menanti. Cepatlah Jingga. Cepatlah! Tidakkah kau dengar suara gedoran di pintu dan suara orang memanggil-manggil namamu. Itu adalah suara Durjana. Ia ingin segera menodaimu. Ia ingin memasukkan racunnya ke tubuhmu hingga perutmu membesar.
Jingga. Cepatlah engkau lompat melalui jendela. Cepat!
Ya, Tuhan. Durjana berhasil mendobrak pintu kamarmu. Lihatlah matanya yang penuh nafsu. Ia mendengus bagai banteng rakus. Ia melihat sekeliling kamar dan mencari-cari wujudmu. Cepat lari, Jingga! Durjana melihat jendela yang terbuka. Kini wajahnya telah melewati jendela itu dan ia menyebutmu bangsat.
Oh, Tidak. Durjana melihat kelebat tubuhmu. Sekarang ia telah melompati jendela. Ia mengejarmu, Jingga. Larilah yang cepat, lebih cepat lagi!!!
“Jingga. Bangsat.” Itu teriakan Durjana. “Akan kubunuh kau.”
Iblis itu mengeluarkan pistol. Dari hidung dan kupingnya memancar asap hitam. Sehitam malam. Tapi matanya bersinar, sehingga ia kembali bisa melihat bayanganmu. Larilah ke arah timur, Jingga. Ke rumah Gerhana. Selama ini orang-orang takut ke bekas tempat pembantaian itu.
Dasar Durjana iblis. Ia terus mengikutimu ke sana. Ya, Tuhan. Walaupun sudah tua gerakannya sangat cepat. Pasti sobat-sobat dedemitnya membantu. Jin Iprit meniupkan angin ke tubuhnya. Cepat lari, Jingga. Cepat! Aduh, mengapa engkau harus jatuh. Bangunlah, Jingga. Aku bisa merasakan napasmu yang tersengal.
Durjana ada dibelakangmu, Jingga. Jaraknya hanya beberapa meter saja. Pistol mengarah ke tubuhmu. Kencangkan larimu, Jingga. Berbeloklah. Tiga langkah di muka, melompatlah. Melompatlah! Melompatlah! Kau berhasil. Durjana mengejarmu, mengejarmu…
“Akkhhh….”
Jingga. Kau dengar suara itu?
Itu adalah suara Durjana. Ia telah masuk ke dalam sumur, Jingga. Berhentilah berlari. Istirahatlah. Lihatlah Gerhanamu, Jingga. Berbahagialah.
Biarkan aku lihat ke dalam sumur. Oh, sangat gelap. Aku tak bisa melihat dengan kedua mataku. Aku akan menggunakan mata batinku. Tuhan!!! Ada tubuh yang tertancap tonggak kayu. Mulutnya terbuka dan lidahnya menjulur mengeluarkan busa. Menjijikkan.
Jingga. Sekarang engkau aman. Pulanglah ke rumah. Di sana Gerhana telah menantimu. Kalian akan segera menikah.
Kau tidak percaya Gerhana masih hidup? Lihatlah ke langit.
Ooohhh.
Benar, Jingga. Gerhana adalah jodohmu. ***

Artikel Terkait Lain



Blog Widget by LinkWithin
 

Jurnalisme Blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com