10/18/2007

Balada 11 Murid, Seorang Guru dan Sekolah Reot



SETELAH serial Lupus karya Hilman Hariwijaya pada dekade 80'an, baru kali ini ada lagi fiksi yang ditulis anak muda meledak di pasaran. Laskar Pelangi, judul pertama dari tetralogi yang dikarang Andrea Hirata, mengalami cetak ulang hingga delapan kali.


Empat halaman awal bukunya memasang puja-puji dari komentar manis 25 orang. Sejak Prof Dr Ahmad Syafi'i Maarif hingga Febi Liana. Mulai majalah Tempo sampai tabloid Indigo.

Tapi bagaimana caranya menjadi anggota Laskar Pelangi? ...sore yang dingin setelah hujan lebat, saat pelangi melingkar dan guruh bersahut-sahutan membahana di atas langit Belitung Timur, seseorang mengucapkan janji persaudaraan sebagai anggota Laskar Pelangi (halaman 359).

Novel ini menyajikan metafora habis-habisan tentang tingkah-polah sebelas anak Belitung yang sekolah sejak di SD lalu SMP Muhammadiyah. Narasinya ramai dengan kata-kata "seperti, laksana, bak, seolah, bagaikan" yang memang jadi kekuatan kelas kata metafor dalam tata bahasa.

Dari kesebelas tokoh, novelisnya memilih Ikal sebagai "aku-liris" penyampai cerita. Ceritanya mengenai persahabatan, kebersamaan, rasa takut, sedih, kegembiraan, persatuan.

Membaca novel ini seperti mengingat semangat petualang Greenpeace yang tengah mengembara di atas kapal Rainbow Warrior. Bagi yang pernah menginjakkan kaki ke Belitung, keindahan Pulau Timah itu tergambar bahkan secara bombastis.

Empat bab terakhir, Hirata menggoreskan penanya secara meliuk-liuk lampai laksana nyiur melambai, menghadirkan nuansa dan sirat-siratan hebat ke benak pembaca.

Setelah tetralogi Pramoedya Ananta Toer, inilah pengarang cemerlang yang melemparkan ke wajah pendidikan negeri ini: sebuah kenyataan miris, bahwa tidak ada korelasi kognitif yang positif antara orang cerdas dan nama besar.

Kepintaran Lintang, si anak nelayan Belitung yang mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer menempuh jarak rumah-sekolah, ternyata terus mengendap abadi dalam keterpurukan nasib buruk yang miskin. Yang paling memilukan, ada berjuta-juta orang seperti dia hidup hari ini di Indonesia bukannya di selembar halaman buku fiksi.

Laskar Pelangi memberi pelajaran untuk kita dengan sama konyolnya ketika menamatkan novel impor Forest Gump. Sementara prinsip pendidikan Indonesia mulai terbang tinggi ke awang-awang bagai layang-layang putus

Artikel Terkait Lain



0 komentar:

Blog Widget by LinkWithin
 

Jurnalisme Blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com