8/29/2007

Nuklir dan Helm Kambing (sujiwo tejo)



Ibu-ibu, saya ketik tulisan ini menjelang berangkat ke Semenanjung Muria, Jawa Tengah, tempat bakal dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Kira-kira 40-an km dari Jepara. Tepatnya di kecamatan Kembang, Desa Balong, di kawasan yang dipercaya sebagai petilasan Wali Syech Siti Jenar.
Sore sebelumnya saya di-SMS bahwa masyarakat Balong minta lakon Dewa Ruci ditambah jadi Dewa Ruci Tolak PTLN. Wah, bagi saya lakon asli “Dewa Ruci” jadi kebablasan gaul kalau mesti diimbuhi “tolak PLTN”.


Ini kan lakon agak sakral, tentang pertemuan Bima dengan Tuhan, sama halnya mitos tentang Syech Siti Jenar yang manunggal dengan Tuhan (lantas disalah-tafsirkan oleh masyarakat pada masa itu).

Ini kan lakon yang tema dominannya soal sembahyang tertinggi. Bahwa puncak sembahyang bukanlah formalitas menyembah, tapi berbuat kebajikan buat orang banyak.
Dalam segi lakon Dewa Ruci, untuk konteks Indonesia, sembahyang tertinggi hari ini adalah membuka lapangan kerja, memperbaiki pendidikan misalnya melalui perjuangan agar anggaran pendidikan mencapai minimal 20 persen APBN sesuai Undang-undang, menyelenggarakan rumah sakit dan obat-obatan untuk kalangan tak mampu dan sebagainya.

Itulah sari pati cerita Dewa Ruci. Tapi ya udahlah. Kompromi. Saya usul, dan akhirnya diterima masyarakat Balong, lakonnya jadi Dewa Ruci Mikir Nuklir. Karena menolak PLTN di zaman kayak gini agak riskan.

Gimana mau nolak? Negara yang pengin maju mesti punya tenaga nuklir. Perdamaian kan terwujud kalau setiap negara di dunia punya senjata andalan. Bukankah dosen kewiraan kita dulu bilang, kalau ingin damai bersiaplah perang. Maksudnya, kalau setiap negara punya gigi, negara lain tak akan seenaknya main serang.

Saya kira kok soalnya bukan menolak PLTN. Soalnya cuma memikirkan, apakah tabiat bangsa ini sudah memenuhi syarat untuk mengelola nuklir yang penuh risiko itu? Ya soal disiplinnya. Ya soal kebutuhan akan rasa amannya. Dan sebagainya.

Wong kecelakaan transportasi bolak-balik terjadi. Gara-garanya ya balik ke situ-situ lagi. Faktor manusia. Ya kelengahan pengemudi (pilot, masinis). Ya kelengahan perawatan mesin maupun pengaturan jalur.

Saya khawatirnya PLTN ini jadi kayak demokrasi. Mentang-mentang demokrasi lagi musim, dan didukung mitos bahwa demokrasi adalah yang terbaik di dunia, maka semua negara ikut-ikutan demokratis.

Padahal, seperti berkali-kali saya matur di forum ini, syarat demokrasi itu tingkat pendidikan masyarakat relatif tidak terlampau timpang. Doktornya banyak. Tapi jauh lebih buanyak lagi yang nggak tamat SD dan buta huruf. Perbedaan tingkat kekayaan masyarakat juga tidak terlalu njomplang.

Sebelum syarat itu terpenuhi…ya…bentuk formalnya sih demokratis. Tapi pemilih akan terus-menerus dibodohi oleh partai dan calon-calon pemimpin. Dan yang jadi pemimpin eksekurif maupun elite partai adalah orang-orang dari jaringan kelompok kaya-raya yang itu-itu juga.

Dalam konteks ini, dan 62 tahun merdeka, kasak-kusuk yang makin santer agar kita balik lagi ke bentuk kerajaan perlu kita beri perhatian serius.

***

Sekitar 2 pekan lalu, di Blok M, Jakarta, saya melihat ada helm asyik. Bukan saja pelindung kepala ini dilapisi bulu kambing. Gila, sekalian tanduknya dipasang. Sekali lagi asyik. Saya seneng juga lihatnya. Ini cara yang baik buat mengusir stres, baik stres yang menonton maupun yang jadi tontonan, stres karena Indonesia gini-gini terus.

Tapi, Bu, kalau dia terjungkal, dan yang kena aspal duluan adalah ujung tanduk, bukannya leher si orang asyik itu lebih mungkin patah? Kenapa juga otoritas yang mengatur tertib berkendara, polisi, tak ambil tindakan?

Itu di darat, Bu. Di udara, bukannya dalam 62 tahun merdeka ini kita masih sering lihat orang naik menara, membetulkan listrik atau apa, telanjang kaki dan tanpa sabuk pengait. Bukan itu saja, satu tangannya biasanya masih sempat-sempatnya pegang rokok. Dia bergelayutan di ketinggian rangka besi sambil klepas-klepus ngeluarin asep.

Yang ini juga bukan di darat. Tapi tak terlalu tinggi seperti di menara. Yaitu di atas gerbong kereta api. Saya selalu heran kenapa ini nggak ditambahkan pada Tujuh atau Delapan Keajaiban Dunia. Ajaib dong! Di atas gerbong mereka bisa berbaring tidur, tanpa pembatas atau penghalang yang bisa menahan pergeserannya akibat kemiringan rel dan gaya lontar ketika kereta api belok.

Kalau Ibu-ibu pedagang sayur pasar pagi masih mending. Mereka tidur di bagian paling belakang mobil bak, di atas tumpukan sayur. Tapi kan sayur beda ma atap gerbong. Atap gerbong lebih masif. Sayur masih ada empuk-empuknya dan “nelan” badan, sehingga orang yang tidur di atasnya relatif lebih terlindung untuk kegeser atau terlontar.
Dan masih banyak contoh lain.

***

Menolak PLTN berarti menunggu masyarakat siap. Masyarakat siap, prosesnya bisa dibiarkan alami. Atau proses itu tidak diserahkan ke alam penuh-penuh, jadi tidak alami, tapi diberi sentuhan kebudayaan dikit. Jadi cepet.

Dari hal yang kecil-kecil aja. Yang penting menempa disiplin dan mempertinggi kebutuhan akan rasa aman. Misalnya, Ibu-ibu selalu wanti-wanti dan keras kepada anak, agar setiap buka pintu mobil, mereka harus menengok ke luar-belakang mobil lebih dulu. Setiap mau nutup pintu mobil, mereka harus menyapukan mata ke rangka pintu karena sering kali ada jari atau lengan dari penumpang depan atau belakang. Sering juga masih ada betis orang karena tumit masih di aspal.

Kalau Ibu-ibu keras, lama-lama anak-anak akan punya naluri itu setiap buka-tutup pintu mobil. Punya naluri serupa untuk aktivitas lain yang lebih luas sehingga kita siap ber-PLTN.

Artikel Terkait Lain



0 komentar:

Blog Widget by LinkWithin
 

Jurnalisme Blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com