8/30/2007

Perenungan Golda (cerpen happy salma)



Mataku memandang langit-langit kamar yang berwarna putih, bersih. Aku menerawang, membayangkan makanan yang begitu enak. Aku mau mau makan ice cream coklat, ditambah potongan strawberry atau buah kiwi yang harum, lalu dilengkapi buah peach yang lezat dan menyegarkan. Hueemmm… nanti kumakan ditemani crepes keju renyah yang kubeli di Mall Mentari, aahh… sungguh nikmatnya dunia.


Tapi, bicara soal Mall Mentari sungguh membuatku kesal. Teringat pada tempat di mana aku terakhir makan ice cream bareng Kasih, cewek sekelasku yang dalam lima bulan terakhir ini begitu akrab denganku.
Aku jadi kesal sendiri mengingatnya. Aku menyesal pernah menjadikannya seorang sahabat. Kasih, menurutku tidak terlalu menarik. Kulitnya tidak seterang aku, kalau rona wajahku, orang bilang seperti salju. Berbeda dengannya yang seperti kolam ikan koiku yang belum dibersihkan sebulan. Keruh, kurang bercahaya. Wajahku indo, diturunkan dari kakekku, semua itu begitu kental mengidentitaskan diriku sebagai gadis cantik.
Sungguh, bukan aku sombong dan melebih-lebihkan, tapi itu komentar-komentar banyak orang yang memujiku. Sudah pasti semua pendapat itu kucatat hangat di dalam sanubariku yang terdalam.
Kasih asli Jogjakarta, tak ada campuran apa-apa. Kalaupun ada, paling dari Jawa dan sekitarnya. Aku bilang sih, wajah yang lumayan ndeso gitu. Ahhh… aku tidak simpati lagi pada Kasih. Bahkan, aku ingin membakar dan tak mau lagi menyimpan foto-foto kami sewaktu liburan di Bali bersama Windy dan orangtuanya.
Hmm… genk heboh sepertinya tinggal kenangan. Kasih yang menghancurkannya. Tapi yang membuat aku bingung sekarang, Windy pun seolah tak peduli dengan keadaan kami, yang rasanya menjadi jauh. Dia malah terkesan memihak Kasih. Tak setia kawan. Aku jadi kesal sama mereka berdua.
Masih dalam kemelutku, tiba-tiba ice cream dan ayam goreng juga nasi padang bungkus begitu membelai keinginanku dengan dasyatnya. Aku coba menahan. Aku tak mau mengingat makanan yang enak-enak itu. Aku mau fokus kepada kekesalan yang rasanya tak bisa hilang ini.
Harusnya aku katakan dari dulu kalau aku jatuh hati pada cowok bernama Dwi itu. Walau aku juga selalu memimpikan Marki, dan… Dean juga. Ada beberapa cowok yang aku incar memang, dan sebenarnya Dwi adalah yang paling tidak begitu menyita perhatianku. Aku pikir agak tidak mungkin. Toh Dwi sekolah di Bandung, kami kenal juga dari chatting.
Tapi aku menyesal telah mengenalkannya pada Kasih. Karena beberapa hari ini aku baru tahu, kalau ternyata mereka sudah pacaran. God!
Selama ini mereka sudah pedekate, dan aku tidak diberi tahu. Keterlaluan! Aku jadi berpikir keras, menyambung-nyambungkan kejadian. Ahhha! Aku tahu sekarang. Pantas dua minggu yang lalu, Kasih sempat menghilang. Aku telponin, dia tak mau angkat, dia bagai hilang ditelan samudera. Ngakunya sih sakit, tapi dia tidak terlihat sakit, tuh. Apa jangan-jangan dia samperin Dwi ke Bandung khusus hanya untuk merayu dengan caranya yang sok dewasa. Mengingatnya saja membuat aku ingin muntah sekarang. Gayanya yang sok bijaksana, juga sok ingin membuat orang tenang di sebelahnya. Palsu!
Aku benci perempuan itu! Aku pikir dia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Keterlaluan!!! Tanpa basa-basi dia tak meminta pendapatku sebelumnya, apa dia tak punya etika berteman? Padahal aku yang mengenalkannya pada cowok cakep itu. Seingatku, Kasih juga dulu yang maksa-maksa agar aku dekat dengannya. Dasar pagar makan tanaman!!
Tuh kan, kepalaku jadi panas. Panas? Bakso kuah yang panas jadi melintas di pikiranku tanpa permisi. Bakso pakai bihun sedikit, kuahnya gurih dikasih sambal yang banyak, sedikit jeruk nipis plus potongan daging cincang yang luar biasa nikmatnya. Hmm… bahkan harumnya pun bisa kurasakan sampai menembus dadaku yang jadi sesak karena mengidamkan makanan yang lezat itu. Oh ya, jangan lupa! Tambahkan kerupuknya Pak Samin yang di kantin sekolah… wahhh enaknya!!!
“Pergi!!! Pergi…!!!”
Aku menghalau keinginan itu untuk segera menjauh dari pikiranku yang mulai tidak normal. Makanan, makanan terus… aku sedang tak mau mengingatnya.
Yang pasti aku jadi teringat saat bersama genk heboh di kamarku yang hangat.
Banjir di Jakarta kala itu membuat mereka berdua terkepung tak bisa pulang. Akhirnya selama dua hari mereka menginap di rumahku. Kami bolos sekolah, padahal ada ujian Bahasa Inggris. Tapi, untung juga sih banjir, karena ternyata bukan kami saja yang tidak masuk sekolah. Hampir semua anggota kelas tak masuk hingga ujian pun diundur waktunya.
Lalu datanglah malam peristiwa yang membuat aku sangat kesal. HP Kasih begitu dekat dengan posisi dudukku. Kasih di kamar mandi. Berkali-kali HP berbunyi. Tanpa niat apa-apa, kuangkat telepon yang ringtone-nya sangat mengganggu itu, lagu jepang yang aku tidak bisa nikmati.
“Hai sayang… sedang apa?”
“Siapa nih?”
“Pacarmu yang bernama Dwi yang lagi kangen ini.”
“Dwi???”
“Eh, ini siapa yah?”
“Hei… ini aku, Golda!”
“Ehhh… Golda. Hei da, apa kabar? Sorry!”
“Pacarmu? Emang kalian pacaran?”
“Emmm… Eeeee… Kasih bilang apa?” Suara serba salah itu begitu menggangguku.
“Hemmm…”
“Apa kabar? Gimana di rumah? Untung gak banjir, yah?”
Pertanyaan basa-basi dari orang yang serba salah itu membuatku malas menanggapi. Kenapa sih aku baru tahu, padahal tadi malam baru saja aku bilang pada genk heboh kalau aku mau nyoba deketin Dwi. Karena cowok-cowok gebetanku yang lain gak ada yang jelas. Heran, bisa-bisanya Kasih tersenyum manis seolah mengiyakan. Teman macam apa itu?
“Ntar gue suruh telpon lo deh,” tanpa kuperlu jawabannya, kututup HP itu sesegera mungkin. Keterlaluan!!
Aku kesal! Begitu tak berarti, seperti orang yang tidak laku saja rasanya. Padahal, Dwi pun seingatku sempat beberapa kali merayu di chatting. Manis, penuh perhatian, arrggghhh!! Entah cowok buaya, atau temanku yang tak tahu diuntung.
***
“Kita memang sering sms-an. Dwi bilang suka… masalahnya aku juga suka. Golda, kamu gak marah kan, kalo aku pacaran sama dwi?“
Kuingat pertanyaannya yang merajuk sok manja, tentu saja kujawab dengan tegas dan gengsi.
“Yah, enggak apa-apalah…” bara api di hatiku rasanya tak padam-padam kala itu. Bahkan sampai pada detik ini. Tunggu, akan kubuktikan kalau aku lebih berkualitas! Kasih tak ada apa-apanya dibandingkanku. Aku lebih cantik, aku dulu model (waktu kecil)…. Aku dulu langsing, beratku 10 kilo lebih ringan dari sekarang. Beratku dua tahun lalu hanya 48 kilo, pasti aku bisa lagi seperti dulu, harus… apa pun caranya.
Aku marahhhhh!!! Aku kecewa dan sakit hati. Mataku yang dari tadi menatap langit-langit menjadi kelu. Mendadak semua yang di atas langit-langit ruangan serta isinya berkejaran seperti mau muntah dan menindihku. Ooohhh… segala makanan yang tadi kuimpikan pun beriringan hendak menyerangku bersamaan.
“Arrrrgggghhh… tolongggg….!!!”
“….”
“Yah Allah! Golda!! Ini mama di sini, nak….”
“Tolonggg....”
“Nakkk…?”
“Mamaaa?” nafasku jadi tak beraturan.
“Iya ini mama. Kamu masih di rumah sakit... udah jangan segala macam kamu pikirin!”
“Mama..?”
“Ayo minum dulu, kamu masih sakit. Makanya, diet itu nggak boleh sembarangan! Beginikan jadinya. Mana segala macam kamu pikirin. Apa juga yang kamu pikirin? Mama heran….”
“Hush! Sudah, jangan nangis! Besok sudah boleh pulang kok.”
“Tadi Kasih sama Windy ke sini sebentar. Dia ngasih surat, nih….” Amplop berwarna jingga mama serahkan padaku.
Kuseka air mataku, kenapa aku kayak orang linglung, ya? Apa dokter salah memberiku obat? Tak jelas, yang pasti aku penasaran dengan surat yang kuterima ini.
Kurobek amplopnya dengan tenaga yang mendadak begitu bergelora karena rasa ingin tahu yang begitu menggebu.
“Hai coi…
Dari kemarin loe susah banget dihubungi, gue jadi sedih.
Maafin gue yah.
Mungkin loe marah karena soal Dwi....
Memang jujur, gue suka sama Dwi.
Tapi jujur juga, gue lebih menderita kalau persahabatan kita putus cuma karena masalah cowok aja….
Gue bisa gak sama Dwi kok kalau emang itu bisa bikin kita jadi baik lagi kaya dulu,
Terus… jangan diet kebanyakan dong, loe kan jadi sakit kayak begini,
bentar lagi kita ujian kelulusan lho, cepet sembuh yah….

Salam sayang ‘Genk Heboh’
tambahan nichhh… cup… cup… ini Windy…. Eh, anak metal!! Cepet sembuh yak, kangeeenn!!!”


Surat singkat itu aku lipat sembarang, aku sekarang jadi bingung sendiri.
“Ma, besok aku pulang kan?”
“Iya. Lagian lama-lama di rumah sakit mahal, makan yang bener juga sembuh kok, nak.”
“Ma….”
“Iya….”
“Duduk siniii…”
“Nduk… manjanya kau ini,” Namun diturutinya juga ucapanku. Mama duduk di samping tempat tidur dan membelai rambutku penuh kasih sayang.
“Ma….”
“Apa lagi?”
“Aku mau sedot lemak yah biar kurus!”
“Bocah wuedan! Sudah sana tidur….”
Diciumnya pipiku, mamapun beranjak dari tempat tidurku. Aku tersenyum geli. Lalu kumenutup mata menghayati, ahh… apa sebenarnya yang aku mau?
Memang tidak menjadi nomor satu itu menyakitkan, tapi memendam rasa kesal pun sungguh tidak nyaman. Kupikir-pikir… untuk Kasih mungkin Dwi begitu berarti, buatku toh hanya jadi kuncian bila sedang basi. Entah kenapa kesalku mendadak hilang, hanya menyisakan bayangan ice cream, coklat, McD, nasi padang plus bakso kuah yang hangat. Terus-menerus, semuanya memenuhi kepalaku.
Tak apa… kali ini bayangan itu kunikmati. Besok-besok bisa kumakan sambil memburu cowok-cowok yang lebih ganteng saat chatting nanti.

Jakarta, Maret 2007.

Artikel Terkait Lain



0 komentar:

Blog Widget by LinkWithin
 

Jurnalisme Blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com