Mereka di luar dan terkutuk, kami tidak. Di sini, kami adalah penyelamatan; di sana, mereka sesat….
Di abad ke-21, suara seperti itu akan terasa sebagai gema dari sebuah zaman kusam berabad-abad yang lalu. Tapi benarkah itu suara yang telah lapuk oleh panas, lekang oleh hujan?
Tembok Vatikan berdiri tegak, tua, seakan tak terusik. Dalam bulan Juli 2007 ini Paus Benediktus menegaskan kembali apa yang dirumuskannya ketika ia masih Kardinal Joseph Ratzinger tujuh tahun sebelumnya. Doktrin ini, Dominus Iesus, telah menyebabkan para pemimpin Protestan menganggap Vatikan kini sebuah pintu yang ditutup kembali. Pertalian ekumeni dan dialog sesama iman Kristiani mungkin tak dapat diharapkan lagi. Seorang tokoh Protestan, Wolfgang Huber, ketua kelompok Gereja Evangeli Jerman, mengeluh: ”Harapan ke arah sebuah perubahan dalam situasi hubungan ekumeni telah digusur lebih menjauh….”
Paus yang sekarang, kata Huber, mengulangi ”statemen yang melecehkan” yang termaktub dalam Dominus Iesus. Pernah ada suatu masa harapan kerukunan akan tumbuh pesat, ketika Konsili Vatikan II dijadikan pegangan bagi Gereja Katolik untuk menerima dengan lebih hormat agama-agama lain. Tapi Konsili Vatikan itu kini berumur 40 tahun, dan di Takhta Suci duduk seorang Paus yang memandang cemas dunia pascamodern.
Kecemasannya memang mencemaskan. Ketika Dominus Iesus diumumkan, Presiden Federasi Gereja-Gereja Evangeli Italia, Domenico Maselli, bereaksi: teks itu merupakan ”sebuah langkah besar mundur dalam hubungan antara Katolik Romawi dan komunitas Kristiani lain”. Gereja Anglikan, ketika itu di bawah Uskup Agung Canterbury, George Carey, mengecamnya sebagai sesuatu yang tak dapat diterima.
Tapi doktrin ”tak ada penyelamatan di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla salus, agaknya senantiasa dapat dipanggil kembali ketika dibutuhkan. Dan Paus Benediktus XVI melihat bahwa abad ke-21 adalah masa serba nisbi, tak ada ajaran yang dianggap benar secara mutlak, ketika manusia bingung mencari pegangan seakan-akan Tuhan benar mati. Ia membawakan ketakutan orang-orang tradisionalis, yang mengecam ”ekumenisme” Konsili Vatikan II, yang dianggap telah mengaburkan garis lurus ajaran. Doktrin telah dibuat lemah di hadapan ”agama-agama yang palsu”.
Tapi orang tak bisa menyalahkan sebuah zaman. Pintu yang tertutup selalu mengikuti tiap gereja—dan Roma tak hanya kali ini membuat palang pintu yang besar. Di tahun 1441, Gereja memaklumkan bula Cantate Domino, 1441: ”tak seorang pun yang ada di luar Gereja Katolik, tak hanya orang tak beragama, juga orang Yahudi, orang murtad… tak akan mendapatkan tempat dalam kehidupan abadi, tapi mereka akan masuk ke dalam api abadi yang disiapkan oleh Setan… biarpun mereka besar sedekahnya, biarpun mereka menumpahkan darah atas nama Kristus….”
Maka apa sebenarnya yang baru dalam pendirian Paus Benediktus XVI—dan apa yang aneh di sana, sebab hampir tiap agama membangun pintu benteng yang membatasi ”mereka” dengan ”kami”, dan menunjukkan gejala yang disebut oleh Bergson sebagai ”moralitas tertutup”?
Dalam risalahnya yang terkenal, karya besarnya yang terakhir, Dua Sumber Moralitas dan Agama, Bergson menyebut ”moralitas tertutup” itu tampak ketika agama hadir dalam sifatnya yang ”statis”. Moralitas ini berkembang dari kehendak untuk menjaga kesatupaduan sosial—sebuah kebutuhan yang tumbuh karena spesies tahu ia tak akan dapat hidup sendirian. Kelanjutan hidup komunitas itu mengharuskan adanya sikap patuh kepada aturan, ketika ada rasa terancam oleh elemen yang ada di luarnya. Bagi Bergson, ”moralitas tertutup” berurusan dengan perang. Di sini berperan ”fungsi fabulasi”: dengan inilah dihadirkan citra dewa atau tuhan yang mengawasi, agar kepatuhan dijaga.
Dari segi ini, extra ecclesiam nulla salus dan pelbagai variasinya dalam agama-agama lain pada hakikatnya berpegang pada apa yang keras tapi beku, kukuh tapi mandek. Berbeda dengan ”moralitas terbuka”. Bergson menggunakan kata ”terbuka” karena sifatnya yang inklusif, tak hendak menyisihkan ”mereka” dari ”kami” yang suci, dan mencalonkan mereka serta-merta ke api neraka yang kekal.
Moralitas ini lahir dari ”emosi kreatif”: emosi yang melahirkan (dan bukan dilahirkan oleh ) representasi, seperti ketika seorang musikus, karena dorongan emosinya, melahirkan nada-nada dalam notasi.
Dapat dibayangkan bahwa dalam hal ini bukan teks ajaran dan lembaga sang penjaga doktrin yang melahirkan hubungan aku dengan Tuhan. Hubungan aku dengan Tuhan lahir dari ”emosi kreatif”: dari kerinduan, diri pun menjangkau yang Maha-Agung.
Tentu saja ada sesuatu yang tak dapat diatur di sana—juga tak dapat dibatasi. Maka wajar jika ”moralitas terbuka” pada akhirnya tak akan berkutat pada perumusan siapa ”mereka” siapa ”kami”. Jika di sini orang bicara tentang ”penyelamatan”, ia tak didahului dengan membangun sebuah tembok yang kedap. Ia tak lahir dari ketakutan. Ia tak hendak berlindung dari kehancuran, sebab percaya bahwa Tuhan tak akan menghancurkan, sebab Tuhan akan selalu menjadikan, akan berada dalam proses yang tak tepermanai….
Tapi mungkin Paus seperti halnya mereka yang melihat bahwa ajaran dan komunitas harus selalu dijaga—kalau perlu dengan darah dan besi. Dalam pandangan ini hanya dengan ketakutan, dan dengan pintu tertutup, manusia dapat diselamatkan.
Itu juga wajah muram zaman ini.
~Majalah Tempo Edisi. 21/XXXIIIIII/16 - 22 Juli 2007~
7/21/2007
Mereka (essay Goenawan Mohammad)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment